ERA pasca-Soeharto telah ditandai
dengan meletusnya berbagai kerusuhan dan konflik sosial di Indonesia. Ada yang
hanya berlangsung singkat, walaupun dengan korban yang sangat besar, seperti
kerusuhan anti-Madura di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat) dan Kabupaten
Sampir (Kalimantan Tengah). Ada yang masih tetap ‘panas dingin’ sejak 1998-1999
sampai sekarang, seperti kerusuhan di Poso dan Ambon. Ada yang bersentuhan
dengan gerakan kemerdekaan pasca-kolonial yang sudah berlangsung selama puluhan
tahun, seperti di Papua Barat dan Aceh.
Dari berbagai kasus yang begitu
beragam, ada tigabelas persamaan yang dapat ditarik, seperti berikut:
(1). Semua kerusuhan sosial di
Indonesia selama era pasca-Soeharto merupakan refleksi dari runtuhnya tertib
sosial akibat lunturnya ketakutan atau kepercayaan rakyat pada aparatur
keamanan, yang belum mengalami pemisahan yang sejati antara fungsi polisi dan
fungsi militer.
(2). Konflik dan kerusuhan sosial di
antara berbagai komunitas di daerah-daerah kerusuhan seperti di Kalimantan,
Sulawesi, dan Kepulauan Maluku, bahkan juga di kota-kota besar di Jawa,
mengalami eskalasi, karena ketumpangtindihan di antara faktor-faktor kelas,
etnisitas, dan agama dari kominitas-komunitas yang bertikai. Dalam arti, kelas
atas didominasi oleh komunitas atau kelompok etno-linguistik tertentu yang
memeluk agama tertentu, sedangkan kelas bawah didominasi oleh kelompok
etno-linguistik yang memeluk agama lain.
(3). Dengan beberapa perkecualian,
khususnya Aceh dan Papua Barat, akar dari berbagai konflik sosial di berbagai
daerah di Indonesia adalah ketimpangan ekonomi akibat pengaturan tata ruang
oleh pemerintah yang dianggap tidak adil oleh komunitas-komunitas setempat,
yang kini menjadi semakin tajam setelah keluarnya Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah dengan konsekuensi pemekaran desa, kecamatan,
kabupaten, dan provinsi yang memicu fanatisme etnis di mana-mana.
(4). Berbagai kerusuhan sosial
pasca-Soeharto di Indonesia, khususnya di luar kota-kota besar di Jawa,
mengalami eskalasi karena cara-cara pengendalian huru-hara (riot control ) yang
terlalu militeristik. Satuan kepolisian yang sering dikerahkan, yakni Brimob,
tidak menggunakan cara-cara pengendalian huru-hara yang tidak menimbulkan
korban jiwa (non-lethal methods ), seperti meriam air, gas air mata, serta
pentungan karet. Kenyataannya, mereka menggunakan peluru tajam dan senjata
otomatis yang sama mematikannya seperti yang digunakan satuan-satuan militer.
Makanya Brimob dapat dianggap sebagai alat teror negara pula, seperti halnya
pasukan Kopassus dan Kostrad (Wessel 2001: 71). Hal itu adalah akibat politik
militerisasi Polri di bawah Jenderal (Pol) Suroyo Bimantoro, yang ditentang
oleh Presiden Abdurrahman Wahid waktu itu (lihat Ghufron 2001: 97-1004).
Itu sebabnya, keputusan untuk
mengirim Brimob ke daerah Polewali Mamasa (Polmas), Sulawesi Selatan, di mana
awal Agustus lalu konflik bersenjata tajam meletus antara penduduk suku Mandar
dan suku Toraja Mamasa, bukanlah solusi yang paling bijaksana.
(5). Kerusuhan sosial di berbagai
daerah seringkali berkembang menjadi konflik berkepanjangan, karena melibatkan
organisasi-organisasi paramiliter yang merasa mewakili kepentingan satu atau
lebih kelompok yang bertikai. Organisasi-organisasi paramiliter yang
bermunculan selama era pasca-Soeharto dirangsang pertumbuhannya oleh aparat
bersenjata (lihat Simanjuntak 2000), sering merupakan pembuka jalan atau
pemulus masuknya para investor ke daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya
alam yang diminati para investor dalam dan luar negeri.
(6). Setiap kelompok atau gerakan
sosial yang radikal di Indonesia selalu disusupi aparat intelijen militer yang
formal maupun non-formal. Infiltrasi itu sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi seberapa jauh gerakan itu dapat membahayakan kepentingan
aparatur negara. Namun lebih jauh lagi, infiltrasi itu kemudian diarahkan untuk
mengkooptasi dan melumpuhkan, atau setidak-tidaknya, mendiskreditkan kelompok
atau gerakan sosial tersebut (lihat tim CeDSoS, 2004).
Dengan kata lain, kelompok atau
gerakan sosial yang menantang kekuasaan negara dan modal besar, konkritnya,
yang terlibat dalam konflik vertikal, sangat berpotensi disusupi aparat
intelijen militer formal dan non-formal untuk membelokkan resistensi vertikal
menjadi konflik horizontal.
Infiltrasi agen-agen intelijen atau
proxy dari para perwira militer dan polisi dengan tujuan melakukan kooptasi ini
telah dialami oleh gerakan mahasiswa, gerakan buruh, gerakan Muslim militan
(lihat Abduh 2003), gerakan kemerdekaan di Aceh dan Papua Barat, serta gerakan
protes Nunusaku di Maluku yang dibelokkan menjadi gerakan untuk menghidupkan
kembali Republik Maluku Selatan. Konflik komunal di Maluku sendiri dicetuskan
hanya dua bulan setelah demonstrasi besar mahasiswa se kota Ambon di bulan
November 1998, menentang dwifungsi militer (lihat Munir 2001: 21).
(7). Selain dengan teknik
infiltrasi, cara lain yang banyak dipakai untuk melumpuhkan perlawanan
masyarakat sipil terhadap negara dan modal besar adalah dengan menciptakan
konflik internal sehingga timbul kelompok tandingan atau pengurus tandingan
yang menentang kehadiran dan legitimasi kelompok atau pengurus yang menentang
negara dan modal besar. Konflik-konflik internal yang semakin mewabah di era
pasca-Soeharto erat kaitannya dengan maraknya infiltrasi agen-agen intelijen ke
dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil.
(8). Di antara berbagai instansi dan
aparat negara, infiltrasi dan kooptasi yang paling sistematis telah dilakukan
oleh Badan Intelijen Negara (BIN), yang sejak tahun lalu telah berekspansi
(lihat McEvers 2004). Ekspansi itu dilakukan melalui struktur BINDA (BIN
Daerah) yang dapat meliputi satu atau lebih provinsi, dan lebih ke bawah lagi
melalui KomBINDA (Komisariat BIN Daerah). Ada juga provinsi-provinsi di mana
secara formal hanya terdapat Kordinator-kordinator Wilayah (Korwil). Manado
merupakan tempat kedudukan seorang Kepala BINDA yang wilayahnya meliputi
provinsi-provinsi Sulawesi Utara dan Aceh, sementara Tomohon merupakan tempat
kedudukan seorang Kepala KomBINDA. Sedangkan Makassar merupakan tempat
kedudukan Korwil BIN Sulawesi Selatan.
Dalam prakteknya, agen-agen BIN di
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan tidak cuma mengumpulkan informasi, tapi
juga melakukan tekanan psikologis kepada aktivis-aktivis pro-demokrasi yang
kritis terhadap pemerintah. Sedangkan di Sulawesi Tengah, tekanan psikologis
dilakukan terhadap pemilik hotel dan tempat pondokan di mana aktivis-aktivis
pro-demokrasi bermukim. Dengan kata lain, pada saat militer dan polisi tidak
lagi secara langsung menghambat kebebasan ekspresi para aktivis gerakan
pro-demokrasi, fungsi itu mulai diambil alih oleh BIN dan beberapa organisasi
paramiliter yang dekat dengan Kepala BIN, Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono.
Walhasil, selama masa pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri, lembaga yang dikepalai oleh seorang kader
PDI-P telah bermetamorfosa menjadi gurita yang lengan-lengannya saling berbelit
dengan berbagai organisasi paramiliter di Jawa dan di luar Jawa, siap untuk
melibas mereka yang dianggap berbahaya bagi rezim Mega. Operasi-operasi
intelijen BIN dimungkinkan oleh sumber dananya yang seolah-olah tidak terbatas,
berhubung dengan kedekatan Hendropriyono dengan Tomy Winata, operator bisnis
utama Angkatan Darat. Soalnya, Hendropriyono adalah Presiden Komisaris PT Kia Mobil
Indonesia (KMI), salah satu anak perusahaan kelompok Artha Graha yang dipimpin
oleh Tomy Winata. Ronny Hendropriyono, anak Kepala BIN, adalah direktur
perusahaan pengimpor mobil Korea itu, bersama Fayakun Muladi, anak Profesor
Muladi, Menteri Kehakiman di masa pemerintahan BJ Habibie (Aditjondro 2004b:
55).
Agen-agen BIN juga bukan orang
sembarangan, sebab lembaga intelijen ini mampu mengerahkan anggota Kopassus
serta anggota Detasemen Khusus 88 Anti-teror, yang baru saja dibentuk oleh
Polri di bulan Agustus 2003 (Jawa Pos, 29 Nov. 2003; Gatra, 4 Sept. 2004: 27).
Kemampuan memobilisasi anggota-anggota satuan-satuan khusus anti-teror itu,
sementara Kepala BIN hanya bertanggungjawab kepada Presiden, membuat kekuasaan
purnawirawan jenderal itu secara de facto setara dengan Panglima TNI dan
Kapolri. Sebagai lembaga, BIN juga telah berkembang menjadi sangat otonom dan
dalam bidang politik praktis dapat menyaingi peranan Mabes TNI dan Mabes Polri,
suatu perkembangan yang tentu saja tidak disukai oleh para perwira aktif di
kedua markas besar itu, yang merasa disaingi oleh Hendropriyono.
Perkembangan ini, yang menyerupai
keadaan di Brazil di masa transisi dari rezim otoriter-birokratis yang
didominasi militer ke pemerintahan demokratis berlandaskan supremasi sipil,
dari tahun 1973 s/d akhir 1985 (Stepan 1988: 25-29) juga tidak disukai oleh
sejumlah purnawirawan jenderal yang reformis. Mereka menganggap operasi BIN di
bawah komando Hendropriyono bertentangan dengan usaha aparat bersenjata untuk
mundur dari pentas politik.
(9). Kadang-kadang, dua fihak yang
bertikai diinfiltrasi oleh agen-agen yang bekerja untuk kepentingan aktor
ekonomi-politik yang sama. Misalnya, anak buah mantan Danjen Kopassus, Prabowo
Subianto, punya hubungan akrab dengan dua fihak yang bertikai di Maluku, yakni
Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang ingin menghidupkan Republik Maluku Selatan
(RMS) dan Lasykar Jihad FASWJ yang ingin . Setelah Lasykar Jihad berhasil
menteror penduduk Seram Timur sehingga mayoritas penduduk yang Nasrani
mengungsi, mantan jenderal itu sedang menyiapkan pengambilalihan ladang-ladang
minyak bumi formasi Manusela yang terentang dari gunung sampai ke laut dari
maskapai Kuwait, PT Kufpec, dan maskapai Australia, PT Calpez.
(10). Penyuburan konflik-konflik
horizontal selama era pasca-Soeharto juga merupakan upaya mempertahankan fungsi
politis dan ekonomis aparat bersenjata di Indonesia, terutama berkaitan dengan
kepentingan modal besar yang dilindungi oleh aparat bersenjata. Untuk keperluan
itulah, pemekaran komando territorial militer di Indonesia terus diupayakan
oleh TNI, seperti yang telah berhasil dilakukan di Maluku dan Aceh (lihat
Pontoh 2004: 125, dan Malik 2004: 115).
(11). Dalam konflik sosial di
berbagai daerah di Indonesia, pelestarian kepentingan ekonomi para prajurit,
perwira, dan satuan-satuan aparat bersenjata sangat menonjol (lihat misalnya
Ishak 2004). Selain di Aceh, di Ambon dan Poso aparat bersenjata yang
ditugaskan untuk memadamkan konflik maupun fihak-fihak yang bertikai mendapat
pasokan senjata dan amunisinya dari sumber yang sama, yakni PT Perindustrian
Angkatan Darat atau PT Pindad. “Politik cuci gudang” PT Pindad (Aditjondro
2004a: 138-140; Aditjondro 2004c: 168-173) hanya merupakan satu aspek kecil
saja dari kepentingan aparat bersenjata untuk mencetuskan dan memelihara
konflik di berbagai daerah di Indonesia.
Pada umumnya, pengiriman pasukan
militer dan polisi ke daerah-daerah konflik secara keuangan tidak di-audit
secara tertib seperti halnya proyek-proyek yang dijalankan instansi-instansi
sipil. Dengan demikian, peluang korupsi di bidang ini sangat besar, dengan
melakukan mark up nilai proyek, bahkan dengan menciptakan proyek-proyek fiktif.
Paling sedikit, peluang untuk mengorupsi dana operasi pasukan sangat besar
(lihat Aditjondro 2004c: 145). Korupsi anggaran pertahanan itu begitu efektif,
karena berlangsung di balik tabir kerahasiaan Kantor Menko Polkam, Departemen
Pertahanan, serta Markas-Markas Besar TNI, Polri, dan ketiga Angkatan yang
praktis tertutup bagi aparat sipil serta lembaga-lembaga pemantau korupsi.
Masih untuk kepentingan aparat
bersenjata, ancaman gerakan bersenjata di daerah operasi maskapai-maskapai
mancanegara, terutama maskapai pertambangan raksasa, sangat menguntungkan
satuan-satuan bersenjata yang mendapatkan biaya pengamanan (protection fee )
dari maskapai-maskapai itu. ExxonMobil di Aceh dan Freeport McMoRan di Papua
Barat, mengeluarkan jutaan dollar AS setahun untuk membiayai pasukan-pasukan
TNI dan Polri yang ditugaskan menjaga keamanan operasi mereka (lihat Aditjondro
2004d: 84-85).
(12). Pencetusan dan pemeliharaan
konflik di Indonesia juga merupakan semacam “industri” bagi aparat birokrasi
sipil, sebab kerusuhan melahirkan pengungsi, dan pengungsi mengundang bantuan
kemanusiaan yang sangat rentan untuk dikorupsi. Walhasil, kerusuhan demi
kerusuhan telah melahirkan sejumlah milyarder di kalangan birokrat, di mana
segelintir kepala daerah dan kepala Dinas Kesejahteraan Sosial berhasil
beternak mobil dan rumah mewah di mana-mana, sementara para pengungsi semakin
melarat. Abdul Muin Pusadan, Bupati Poso yang sudah hampir habis masa
jabatannya, misalnya, sudah sempat mengoleksi tiga rumah di kota Poso, enam
rumah di kota Palu, sebuah rumah di kota Makassar, serta sejumlah rumah di
Jawa, yang masing-masing dilengkapi sebuah mobil mewah (Aditjondro 2004b:
xiii-xiv, 40-41; sumber-sumber lain).
(13). Akhirnya, pencetusan dan
pemeliharaan konflik horizontal di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam,
yang mengakibatkan pengerahan (deployment ) pasukan-pasukan bersenjata di sana,
menguntungkan para investor di bidang pengolahan sumber-sumber daya alam di dua
bidang. Pertama, langgengnya kerusuhan di daerah-daerah konflik menyebabkan
jatuhnya harga tanah, yang menurunkan biaya pembangunan prasarana para pemodal.
Kedua, adanya pasukan bersenjata yang lebih melayani kepentingan para pemodal
ketimbang penduduk setempat, melindungi para pemodal tersebut dari berbagai
tuntutan penduduk setempat, mulai dari tuntutan penggantian hak-hak adat atas
tanah dan perairan ulayat sampai dengan tuntutan hak-hak perburuhan dari tenaga
buruh yang direkrut dari luar dan dari penduduk setempat.
Di Kepulauan Maluku, misalnya, dua
perusahaan tambang emas yang mendapatkan keuntungan dari tergusurnya penduduk
serta penempatan pasukan bersenjata di sana adalah Ingold, anak perusahaan
tambang Kanada, Inco, di Pulau Haruku, dan Newcrest, perusahaan tambang
Australia di Halmahera Utara. Bulan Januari lalu, aksi protes bersama suku
Makian yang Muslim dan Kao yang Kristen – yang lima tahun lalu saling menyerang
— menentang ekspansi tambang itu diserang oleh satuan Brimob (Guerin 2004).
Seorang anggota Brimob yang terlibat
dalam penyerangan itu, dihukum penjara tujuh bulan, namun ia tetap bebas
berkeliaran di luar. Karena berbagai tuntutan mereka belum dipenuhi, bulan Mei
lalu sekitar 300 orang penduduk dari kedua komunitas itu berkemah di lokasi
tambang. Barangkali karena serangan Brimob yang lalu diekspos ke dunia
internasional, para polisi militer penjaga tambang itu, yang digaji sebesar 700
dollar Australia sehari oleh maskapai itu, tidak mengulangi kekejaman mereka
(Republika, 7 Juni 2004).
Sedangkan di bagian timur provinsi
Sulawesi Tengah, kerusuhan di Poso telah dijadikan justifikasi oleh TNI/AD
untuk melipatduakan jumlah batalyon yang ditempatkan di provinsi ini. Batalyon
yang baru, Yon 714 Sintuwu Maroso, terdiri dari tiga kompi yang tidak cuma
ditempatkan di Kabupaten Poso, tapi juga di dua kabupaten tetangganya, yakni
Morowali dan Banggai. Penyebaran kompi-kompi tentara di ketiga kabupaten itu
juga diikuti oleh Brimob, yang juga membangun asrama kompi mereka di setiap
kabupaten.
Mengapa perlu begitu banyak penjaga
keamanan di Poso, Morowali, dan Banggai? Tidak kebetulan bahwa di kedua
kabupaten tetangga Poso telah masuk dua investor domestik dengan backing
politik yang cukup kuat. Yakni kelompok Medco milik Arifin Panigoro, ketua
Fraksi PDI-P di MPR yang berniat menambang minyak dan gas bumi di
Kabupaten-Kabupaten Banggai dan Morowali; serta kelompok Artha Graha milik Tomy
Winata dan Yayasan Kartika Eka Paksi, yang berniat menambang marmer di Morowali
(Aditjondro 2004a: 135-137).
Jangan dilupakan pula Kepala BIN,
adalah mitra bisnis Tomy Winata. Hendropriyono adalah Presiden Komisaris PT Kia
Mobil Indonesia (KMI), sementara anaknya, Ronny Hendropriyono menjadi salah seorang
direktur anak perusahaan Artha Graha itu. Makanya, di mana Artha Graha menanam
modalnya, di situ mobil Kia dipromosikan, a.l. lewat pembagian mobil tersebut
secara cuma-cuma ke aparat polisi setempat. Makanya, keluarga Hendropriyono
jelas-jelas punya kepentingan ekonomi untuk mengamankan investasi Artha Graha
di daerah Morowali.
Akhirnya, tidak kebetulan pula bahwa
di daerah di mana batalyon yang lama, Yon 711 Reksatama bertugas, yang meliputi
kabupaten-kabupaten Buol dan Toli-Toli, Ronny Hendropriyono juga punya
kepentingan bisnis. Ia menjadi komisaris dari sebuah perkebunan kepala sawit
seluas 52 ribu hektar. Perkebunan PT Hardaya Inti Plantation itu adalah milik
Ny. Hartati Murdaya, salah seorang Bendahara Golkar di era Presiden Soeharto
(Aditjondro 2004b: 53-54).
Dari contoh-contoh ini dapat dilihat
bagaimana pelestarian konflik Poso dan Morowali, akhirnya menguntungkan para
pemodal besar, yang dilindungi kepentingannya oleh aparat bersenjata dan aparat
intelijen negara kita.
Begitulah tigabelas tesis yang dapat
diturunkan dari data empiris dari sejumlah kerusuhan dan konflik sosial
pasca-Soeharto di Indonesia.
Sibolangit, 10 Agustus 2004
Kepustakaan:
Abduh, Umar (peny.) (2003). Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal. Jakarta: Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS).
Aditjondro, George Junus (2001). “Di Balik Asap Mesiu, Air Mata dan Anyir Darah di Maluku”. Epilog dalam Zairin Salampessy dan Thamrin Husain (peny.). Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu: Tragedi Kemanusiaan Maluku di balik Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat, dan Kepentingan Elit Politik. Jakarta: TAPAK Ambon, hal. 131-176.
————— (2003). “Renungan buat Papa Nanda, Anak Domba Paskah dari Tentena”. Prolog dalam Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan Poso: Menggapai Surya Pagi melalui Kegelapan Malam. Jakarta & Yogya: PBHI, Yakoma, CD Bethesda, hal. xviii-lii.
—————(2004a). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta: ProPatria, hal. 109-155.
————— (2004b). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
————— (2004c). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata dan Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur”. Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 137-178.
—————- (2004d). “Dari Gaharu ke Bom Waktu HIV/AIDS Yang Siap Meledak: Ekonomi Politik Bisnis Tentara di Tanah Papua”, Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 83-112.
CeDSoS, Tim Peneliti (2004). Konspirasi Gerakan Islam & Militer di Indonesia. Jakarta: Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS).
Ghuffron, Rodjil (2001). Skandal Politik SI MPR RI 2001. Jakarta: Factual Analysis Forum.
Guerin, Bill (2004). “The Search for Safety in the Spice Islands.” Asia Times Online, 2 Juni.
Malik, Ichsan (2004). “Bisnis Militer di Wilayah Konflik Maluku”. Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 113-120.
McEvers, Kelly (2004). “Indonesia’s Expanding Spy Network Alarms Reformers.” Christian Science Monitor, 4 Februari.
Munir (2001). “Indonesia, Violence and the Integration Problem.” Dalam Ingrid Wessel & Georgia Wimhoefer (peny.). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, hal. 17-24.
Pontoh, Coen Husain (2004). “Bedil, Amis Darah dan Mesiu: Mengurai Keterlibatan Militer dalam Konflik Maluku”. Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 121-136.
Simanjuntak, Togi (peny.). Premanisme Politik. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI).
Stepan, Alfred (1988). Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton, NJ: Princeton University Press. Wessel, Ingrid (2001). “The Politics of Violence in New Order Indonesia in the Last Decade of the 20th Century.” Dalam Ingrid Wessel & Georgia Wimhoefer (peny.). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, ha
Abduh, Umar (peny.) (2003). Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal. Jakarta: Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS).
Aditjondro, George Junus (2001). “Di Balik Asap Mesiu, Air Mata dan Anyir Darah di Maluku”. Epilog dalam Zairin Salampessy dan Thamrin Husain (peny.). Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu: Tragedi Kemanusiaan Maluku di balik Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat, dan Kepentingan Elit Politik. Jakarta: TAPAK Ambon, hal. 131-176.
————— (2003). “Renungan buat Papa Nanda, Anak Domba Paskah dari Tentena”. Prolog dalam Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan Poso: Menggapai Surya Pagi melalui Kegelapan Malam. Jakarta & Yogya: PBHI, Yakoma, CD Bethesda, hal. xviii-lii.
—————(2004a). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta: ProPatria, hal. 109-155.
————— (2004b). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
————— (2004c). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata dan Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur”. Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 137-178.
—————- (2004d). “Dari Gaharu ke Bom Waktu HIV/AIDS Yang Siap Meledak: Ekonomi Politik Bisnis Tentara di Tanah Papua”, Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 83-112.
CeDSoS, Tim Peneliti (2004). Konspirasi Gerakan Islam & Militer di Indonesia. Jakarta: Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS).
Ghuffron, Rodjil (2001). Skandal Politik SI MPR RI 2001. Jakarta: Factual Analysis Forum.
Guerin, Bill (2004). “The Search for Safety in the Spice Islands.” Asia Times Online, 2 Juni.
Malik, Ichsan (2004). “Bisnis Militer di Wilayah Konflik Maluku”. Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 113-120.
McEvers, Kelly (2004). “Indonesia’s Expanding Spy Network Alarms Reformers.” Christian Science Monitor, 4 Februari.
Munir (2001). “Indonesia, Violence and the Integration Problem.” Dalam Ingrid Wessel & Georgia Wimhoefer (peny.). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, hal. 17-24.
Pontoh, Coen Husain (2004). “Bedil, Amis Darah dan Mesiu: Mengurai Keterlibatan Militer dalam Konflik Maluku”. Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 121-136.
Simanjuntak, Togi (peny.). Premanisme Politik. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI).
Stepan, Alfred (1988). Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton, NJ: Princeton University Press. Wessel, Ingrid (2001). “The Politics of Violence in New Order Indonesia in the Last Decade of the 20th Century.” Dalam Ingrid Wessel & Georgia Wimhoefer (peny.). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, ha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar